NEW YORK - Ditengah ramainya isu seputar "Free Acheh, Free Papua dan Free Maluku" yang disebut-sebut memicu kehebohan di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Tengku Fajri Kruëng, seorang aktivis yang gencar memperjuangkan hak-hak bangsa Aceh yang menjadi delegasi mewakili masyarakat adat/pribumi Aceh (aneuëk nanggroë/Red) dalam United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) yang digelar mulai tanggal 21 April hingga 2 Mei 2025 di New York itu akhirnya angkat bicara.
Lewat sebuah video pernyataan langsung yang ditayangkan oleh ATAKANA TV yang berpusat di Swedia, hari ini (26/5), ia memberikan beberapa penjelasan terkait apa yang sebenarnya terjadi dibalik viralnya insiden yang melibatkan delegasi Indonesia, petugas keamanan (satpam) dan lembaran kertas bertuliskan aspirasi tiga negeri yang selama ini dikenal dengan kegigihan memperjuangkan kemerdekaan di wilayah Asia Tenggara.
Sebagaimana diketahui, pada hari Senin (21/5) lalu, tiga orang delegasi masyarakat adat/pribumi Aceh dan Papua membentangkan sepenggal kertas bertuliskan "Free Acheh, Free Papua dan Free Maluku" yang dipegang didepan panggung Majelis Umum PBB dan dijadikan foto publik menjelang pembukaan UNPFII yang menarik simpatik banyak orang saat itu ternyata telah menimbulkan desas-desus dikalangan masyarakat imbas dari reaksi berlebihan (paranoid) dan emosional yang datang dari delegasi Indonesia, Letnan Kolonel militer dari satuan Kopassus, Paulus Panjaitan, putra dari tokoh militer senior Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan, seorang Jenderal TNI (Purn) yang dituding terlibat kasus pelanggaran HAM di Papua oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 2021 silam.
Melalui satpam PBB, dengan wajah terlihat tidak bersahabat Paulus meminta selebaran itu disita segera dengan alasan bahwa konten dalam selebaran itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam forum tersebut. Namun, hal yang membuat publik heran bukan terkait dengan kejadian ataupun perlakuan terhadap para delegasi di lokasi, melainkan narasi yang kemudian berkembang di media-media Indonesia, khususnya sosial media yang dianggap terlalu berlebihan. Menurut isu yang beredar menyebutkan bahwa dua orang delegasi Aceh beserta Papua telah ditangkap, bahkan disebut juga telah ditahan oleh PBB karena aksi damai mereka. Padahal, pihak keamanan PBB sendiri tidak menganggapnya sebagai sebuah pelanggaran yang bersifat prinsipil.
Sebuah rekaman video HP viral yang diambil dan disebarluaskan oleh Paulus sendiri terlihat adanya keberadaan tiga lembar kertas dengan tulisan "Free Acheh", "Free Papua" dan "Free Maluku". Penyebaran video tersebut juga menimbulkan perbincangan luas dikalangan warganet karena dinilai sebagai langkah yang kontraproduktif. Alih-alih meredam isu, tindakan tersebut dinilai memperluas terhadap narasi yang tertulis dalam kertas tersebut sehingga memberikan ruang promosi gratis yang tidak diinginkan oleh Indonesia sendiri.
Menurut Fajri, reaksi berlebihan dari Indonesia itu justru menjadi kemenangan tersendiri bagi mereka. Konten tulisan pada kertas itu kini nyatanya telah disebarkan secara masif dan sangat cepat melalui sosial media.
“Sebenarnya itu adalah masalah kecil, tapi dibesar-besarkan oleh Indonesia sendiri. Pada dasarnya itu adalah kemenangan bagi kami. Jadi saya rasa tulisan "Free Acheh", "Free Papua" dan "Free Maluku" itu kini sudah tersebar sangat luas. Selain itu, apabila kalian mendengar di sosial media, di berita-berita atau dimana saja bahwa kami sudah ditangkap, kami sudah diusir, ataupun yang lainnya yang bukan-bukan, itu semua bohong. Kami tidak ditangkap. Tidak ada pelanggaran hukum yang kami lakukan disini. Itu semua hanyalah upaya delegasi Indonesia untuk membungkam suara kami dan untuk memprovokasi rakyat,” katanya dengan suara yang tenang.
Dalam pernyataannya, ia juga menegaskan bahwa keberadaan mereka di forum PBB adalah sah dan dijamin oleh hukum internasional. Sebagaimana diketahui, PBB bukan milik Indonesia. Organisasi PBB adalah rumah bagi semua bangsa, termasuk bangsa Aceh, Papua dan Maluku, karena mereka sebagai perwakilan masyarakat adat/pribumi yang membawa aspirasi rakyat masing-masing wilayah yang sedang memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination) dengan damai.
“Ada ratusan ribu jiwa yang telah syahid di tanah kami. Hanya karena satu kertas bertuliskan ‘Free’ kami disalahkan? Ini bukan soal kertas. Ini soal kebenaran yang tidak bisa terus disembunyikan!” katanya dengan lantang.
Menutup pernyataannya, pria korban konflik saat Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1998 yang kini sedang berada di New York itu mengimbau kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat adat/pribumi Aceh, Papua dan Maluku, untuk tidak termakan provokasi yang bersumber dari narasi-narasi Indonesia yang tidak benar.
“Hari ini adalah hari terakhir forum untuk minggu pertama. Alhamdulillah kami masih dapat masuk kesini, tidak ada masalah apa-apa. Begitu juga minggu depan yaitu minggu yang kedua dari forum. Kalian bisa tanya saya langsung di Facebook, Instagram atau TikTok. Jangan percaya begitu saja berita dari mereka yang punya kepentingan untuk membungkam kami. Kami masih disini, masih ikut forum dan masih akan terus bersuara."
Oleh: Asnawi Ali
Editor: Rizki