Pages

Demokrasi Primitif dan Jawaisme di Indonesia

Penduduk di Indonesia terbagi atas 146 macam suku bangsa. Jawa adalah suku bangsa terbesar di Indonesia dengan persentase 40,06%. Diurutan kedua ada Sunda dengan persentase 15,51%. Jika ditambah 3,03% untuk Madura dan 2,88% untuk Betawi. Maka, total keseluruhan dari 4 suku bangsa ini setelah dijumlahkan menjadi 61,48% atau lebih dari setengah jumlah penduduk di Indonesia. (Institute of Asian Studies).

Begitu juga dengan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada Sensus Penduduk tahun 2010, seperti pada tabel dibawah ini:



Didalam teknik persidangan, ada istilah 1/2+1 (setengah lebih satu). Ini umumnya diatur dalam tata-tertib sidang. Bahwa sidang dianggap sah untuk dilaksanakan apabila peserta yang hadir memenuhi kuota minimum 1/2+1 dari jumlah keseluruhan peserta sidang. Lain lagi, kalau ada keputusan yang mengharuskan untuk diambil vote suara, maka keputusan dianggap sah untuk terpilih apabila suara terbanyak telah memenuhi kuota minimum 1/2+1 dari jumlah peserta sidang yang hadir.

Dengan total jumlah 61,48% masyarakat yang notabene berasal dari Jawa/Jawaisme ini, mereka sudah mampu menyumbang 1/2+1 dari jumlah seluruh penduduk di Indonesia. Bahkan, jika 142 suku bangsa yang tersisa lainnya dijumlahkan maka hasil totalnya hanya sebesar 38,52% atau tidak sampai setengah dari jumlah penduduk di Indonesia. Anggaplah 8,52% dari tiap-tiap suku bangsa itu adalah orang-orang yang sudah mengadopsi Jawaisme juga, berarti sisanya hanyalah 30% saja.

Kalau kita pinjam contoh dalam teknik persidangan tadi. Maka, hanya dengan kalangan mereka saja kuota minimum 1/2+1 sudah dapat terpenuhi untuk kemudian dijadikan dasar sebagai keterwakilan suara majority dari seluruh rakyat Indonesia. Itu berarti juga, apapun yang disetujui dan/atau tidak disetujui sudah dianggap sah sebagai sebuah keputusan yang mutlak atas dasar prinsip Demokrasi dari Rakyat untuk Rakyat. Jadi tidak perlu terkejut apabila dalam penentuan 'ukuran', 'timbangan' dan 'penimbang' di Indonesia semua merujuk pada neraca 'ukuran' dan 'timbangan' Jawaisme dan tentunya Jawa-lah sebagai 'penimbang' terbaik dengan neraca ini.

Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah. Suka atau tidak suka. Sebab alasan itu dalam masa-masa awal setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, kemudian terjadi pergolakan oleh pemimpin-pemimpin kemerdekaan Indonesia hampir diseluruh wilayah. Republik Indonesia yang berbentuk Negara Serikat kemudian dirubah secara aklamasi menjadi bentuk Negara Kesatuan dengan tanpa melewati forum jajak-pendapat apapun. Setiap yang berbeda pendapat diwajibkan untuk menyerah, diam dan pasrah dengan keadaan. Jika tidak, akan dicap sebagai pemberontak. Karena jalan penyelesaian terhadap perbedaan pendapat yang disediakan hanya satu, yaitu dengan cara militerisik. Bungkam atau diburu untuk dibunuh! 

Praktek seperti ini masih terus berlangsung sampai sekarang. Hanya saja, jalan penyelesaian yang disediakan sedikit berbeda: Bersuara untuk tidak diperdulikan dan tidak ada penyelesaian, dijebloskan ke penjara dengan melalui proses peradilan walaupun bukan peradilan yang adil.

Sehubungan dengan hal diatas, isu-isu yang ada di Indonesia dalam bagian yang paling besar juga merupakan isu-isu yang berkenaan dengan Jawa/Jawaisme-nya. Ini terjadi karena seluruh alat teknologi dan media komunikasi berada dalam genggaman mereka. Coba sebut satu perusahaan media yang paling besar milik pemerintah ataupun perorangan yang memiliki akses secara nasional tapi tidak berada di Jawa dan/atau tidak berpusat ke Jawa?! Belum lagi soal Internet Satelit yang mengatur tentang konektivitas jaringan pada telepon seluler sepenuhnya atas kontrol mereka. Jumlahnya 61,48%. Teknologi medianya lengkap. Internet Satelit ada. Semua potensi untuk berkuasa dan menguasai sudah dibangun dalam 75 tahun belakangan ini. Lebih dari itu, tidak ada isu yang lebih penting untuk diberitakan selain isu tentang mereka ataupun pengikutnya.

Coba perhatikan. Dalam pemberitaan oleh BBC yang berjudul "Saya tidak mau mati sebagai orang Indonesia' – Cerita tiga anak muda Indonesia yang tinggal dan bekerja di Korsel, AS dan Thailand" terkait hashtag viral #KaburAjaDulu. Dari 3 orang yang dimaksud oleh BBC dalam berita tersebut ketiganya notabene adalah Jawa; yang satu Jakarta, yang satu lagi Bandung dan yang terakhir Semarang. Diwilayah pembangunan sentralistik negara Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, kenapa harus ribut dengan lapangan pekerjaan? Jadi apa kabar dengan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan lain-lain selama ini?

Soal berita "Pagar laut di Tangerang". Mungkin ada yang menjadi rajin menyimak berita-berita tentang ini, baik dimedia sosial maupun dimedia lainnya. Bisa jadi mungkin sudah banyak juga yang mulai familiar dengan nama-nama dan wajah tokoh-tokoh masyarakatnya yang sering diundang dalam diskusi publik distasiun-stasiun televisi dengan framing seakan-akan itu adalah kejadian yang berpotensi merugikan negara dan rakyat Indonesia secara nasional. Tak tanggung-tangung, TNI-AL juga mengerahkan kendaraan taktisnya dalam menanggapi kejadian ini. Kenapa harus sibuk dengan pagar laut Tangerang? Padahal dilaut Sumatra warga Rohingya yang terombang-ambing dari Samudra Hindia bisa masuk ke Selat Malaka dan dengan mudahnya bisa lolos hingga terdampar diwilayah-wilayah Sumatra, apalagi mafia narkoba yang bergerak dengan strategi?!

Di Batam, orang-orang Melayu di Rempang dipaksa angkat-kaki dari tanah ibunya dan dari laut penghidupan ayahnya. Sayangnya, tidak satupun organisasi baik dari mahasiswa ataupun masyarakat di Jawa/Jawaisme turun-tangan untuk membela mereka. Tokoh masyarakat Rempang yang dikenal dengan panggilan Abang Long, hanya diberi kesempatan berbicara dalam orasi-orasi dilapangan. Tidak ada undangan dari stasiun televisi untuk pembahasan. Kemudian pada akhirnya ia pun harus tunduk, menyerah dan ditangkap karena dianggap sebagai kriminal akibat dituduh melawan negara.

Belum lagi soal ribuan orang Papua yang harus mengungsi ke hutan-hutan dan seorang ibu yang meninggal dalam pengungsian itu setelah melahirkan bayi dalam kandungannya!

Inilah yang dimaksud dengan tidak ada isu yang lebih penting selain isu tentang Jawa dengan Jawaisme-nya. Dalam Ilmu Komunikasi disebut Teory Agenda Setting. Sekarang, apasih yang orang tidak tau soal Jawa? Bahkan anak-anak kecil di Banda Aceh pun sudah bisa bilang, Jancok! Anak-anak remaja sudah bisa bilang, Asu! Bahkan orangtua harus memberi nama anaknya dengan nama-nama Jawaisme sebagai harapan agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Ini baru soal-soal ringan, belum lagi soal-soal berat seperti Pemilihan Umum Presiden Indonesia!

Sebagai penutup:

Dalam sistem demokrasi, konsep minority itu diterima dengan syarat bahwa minority itu dapat menjadi majority sesewaktu dan dengan pasti-pasti. Tapi dibawah Hegemoni Jawaisme yang sudah, sedang dan terus dikembangkan di Indonesia ini tidak bisa terjadi. Sebab dalam statistik mereka kita semua akhirnya jatuh dalam keranjang sampah minority yang kekal. Bangsa Jawa mau menjadi majority yang tetap untuk selama-lamanya. Mereka memakai nama "Demokrasi" hanya untuk propaganda dan penipuan politik semata-mata. Mengutip perkataan pemeran D.N. Aidit dalam film propaganda Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30SPKI) yang diproduksi oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia: "DJAWA ADALAH KOENTJI".

Note:

Saya membuka peluang bagi siapa saja para pembaca tulisan ini untuk mendebatnya. Sekian. Terimakasih