Pages

Jawaban Untuk Opini Sdr Teuku Zulman Sangga Buana



Berikut ini jawaban untuk opini Sdr Teuku Zulman Sangga Buana, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Kajian Strategis Ikatan Alumni Universitas Syiah Kuala (IKA USK) Jakarta.

"Kemerdekaan Aceh di Mata Hukum Internasional" pada Harian Serambi Indonesia, Kamis, 18 September 2025

Oleh: ATAKANA TV - Vlogger Aceh di Swedia

- Opini yang menyatakan bahwa Aceh telah kehilangan hak menentukan nasib sendiri sejak 17 Agustus 1945 dengan mengacu pada prinsip uti possidetis juris dan Resolusi MU-PBB No. 1514 serta 2625, dapat dipertanyakan keabsahannya apabila ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas terhadap norma hukum internasional.

Pertama, Resolusi MU-PBB No. 1514 Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples (1960) dengan jelas menegaskan bahwa kedaulatan atas suatu wilayah kolonial tidak berada di tangan penguasa kolonial, melainkan di tangan rakyat wilayah tersebut. Artinya, Belanda sebagai penguasa kolonial tidak berhak secara sepihak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Indonesia, tetapi harus mengembalikan seluruh kewenangan kepada rakyat Aceh sendiri. Dengan demikian, penggabungan Aceh ke dalam Indonesia tanpa persetujuan langsung rakyat Aceh bertentangan dengan prinsip fundamental dekolonisasi PBB.

Kedua, Resolusi MU-PBB No. 2625 Declaration on Principles of International Law (1970) memang menekankan pentingnya penghormatan terhadap keutuhan teritorial negara, tetapi resolusi ini juga secara eksplisit menegaskan kewajiban semua negara untuk mengakhiri kolonialisme dalam segala bentuknya.

Ketiga, Resolusi MU-PBB No. 2621 Programme of Action for the full Implementation of the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples (1970) menegaskan bahwa kolonialisme merupakan kejahatan internasional, dan rakyat wilayah kolonial memiliki hak sah untuk berjuang melawan penguasaan kolonial. Dalam kerangka ini, perjuangan rakyat Aceh untuk mempertahankan kedaulatannya tidak bisa dianggap melanggar hukum internasional, tetapi justru mendapat legitimasi.

Keempat, Resolusi MU-PBB No. 3314 Definition of Agression (1974) menegaskan larangan penggunaan kekerasan terhadap rakyat yang hendak memperjuangkan penentuan nasib sendiri. Sebagaimana diketahui berdasarkan fakta bahwa integrasi Aceh ke Indonesia dilakukan tanpa penetapan suara rakyat (one man one vote). Apa yang dilakukan oleh militer Indonesia adalah dapat dikategorikan sebagai bentuk agresi terhadap hak menentukan nasib sendiri rakyat Aceh.

Kelima, doktrin uti possidetis juris yang dijadikan dasar tidak dapat dijadikan dalih untuk menyangkal hak menentukan nasib sendiri. Sebab, uti possidetis berlaku hanya untuk memastikan stabilitas batas wilayah negara-negara baru pasca-dekolonisasi, tetapi tidak boleh dipakai untuk melegitimasi penggabungan wilayah yang secara historis, politik, atau hukum memiliki identitas kolonial terpisah. Resolusi 2625 sendiri menegaskan bahwa “setiap wilayah kolonial memiliki status hukum yang terpisah” (separate legal status) yang tidak dapat dianulir hanya karena keputusan sepihak penguasa kolonial.

Dengan demikian, klaim bahwa Aceh otomatis kehilangan hak menentukan nasib sendiri pada 17 Agustus 1945 adalah problematis. Berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Resolusi MU-PBB 1514, 2625, 2621, dan 3314, justru dapat dikatakan bahwa hak rakyat Aceh tetap ada, karena:
1) Belanda tidak dapat mengalihkan kedaulatan Aceh kepada Indonesia.
2) Setiap wilayah kolonial harus diperlakukan sebagai entitas terpisah dalam proses dekolonisasi.
3) Hak menentukan nasib sendiri adalah hak fundamental rakyat kolonial yang tidak dapat dibatasi oleh keputusan administratif kolonialis maupun oleh klaim negara baru.

Opini “Kemerdekaan Aceh di Mata Hukum Internasional” yang ditulis oleh Sdr Teuku Zulman Sangga Buana terlalu sempit karena hanya menekankan integritas teritorial, padahal resolusi PBB juga menegaskan hak rakyat kolonial secara individual dan terpisah.

- Bantahan terhadap Klaim "Aceh Kehilangan Hak Menentukan Nasib Sendiri" Berdasarkan Resolusi-Resolusi Majelis Umum PBB:

1. Resolusi MU-PBB 1514 (XV), 1960
Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples.
Pasal 2: Menyatakan bahwa “all peoples have the right to self-determination; by virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”
Artinya, hak menentukan nasib sendiri adalah hak langsung rakyat koloni, bukan hak negara baru yang dibentuk dari gabungan koloni. Dengan demikian, Belanda tidak berhak mengalihkan Aceh kepada Indonesia, tetapi harus mengembalikan kedaulatan kepada rakyat Aceh.
Pasal 6: Menegaskan bahwa “any attempt aimed at the partial or total disruption of the national unity and the territorial integrity of a country is incompatible with the purposes and principles of the Charter of the United Nations.”

Opini Sdr Teuku Zulman Sangga Buana berpegang pada pasal ini untuk menekankan integritas teritorial Indonesia. Namun, pasal ini ditujukan pada negara yang sudah terbentuk secara sah melalui dekolonisasi sesuai prinsip 1514, bukan pada negara yang menerima wilayah tanpa persetujuan rakyat wilayah tersebut dengan one man one vote. Dengan kata lain, integritas teritorial tidak dapat dijadikan dalih untuk meniadakan hak self-determination Aceh.

2. Resolusi MU-PBB 2625 (XXV), 1970
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States.
* Menyatakan bahwa setiap koloni memiliki “separate and distinct legal status” yang tidak dapat dihapuskan dengan keputusan sepihak kolonialis untuk menyatukan beberapa koloni dalam satu administrasi.
Ini berarti Hindia Belanda sebagai konstruksi administratif kolonial tidak otomatis membatalkan hak-hak terpisah rakyat Aceh. Fakta membuktikan bahwa Aceh memiliki identitas dan sejarah terpisah, maka hak menentukan nasib sendiri tetap berlaku.
* Resolusi ini juga menegaskan bahwa prinsip integritas teritorial hanya berlaku terhadap negara yang “possesses a government representing the whole people belonging to the territory without distinction as to race, creed or colour.”
Integrasi Aceh ke Indonesia dilakukan tanpa persetujuan rakyat Aceh–one man one vote–maka Indonesia tidak memenuhi syarat representasi penuh rakyat Aceh, sehingga klaim integritas teritorialnya atas Aceh lemah menurut resolusi ini.

3. Resolusi MU-PBB 2621 (XXV), 1970
Programme of Action for the Full Implementation of the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples.
* Menegaskan bahwa kolonialisme adalah kejahatan internasional dan memberi legitimasi pada rakyat koloni untuk berjuang melawan dominasi kolonial.
Penggabungan Aceh ke Indonesia dipandang sebagai kelanjutan dominasi kolonial Belanda (dengan hanya mengganti penguasa tanpa persetujuan rakyat dengan one man one vote), maka perlawanan rakyat Aceh adalah sah menurut hukum internasional.

4. Resolusi MU-PBB 3314 (XXIX), 1974
Definition of Aggression
* Menyatakan bahwa penggunaan kekerasan terhadap rakyat yang memperjuangkan penentuan nasib sendiri merupakan tindakan agresi.
Integrasi Aceh ke Indonesia diikuti oleh operasi militer, represi, atau penggunaan kekerasan yang membabi buta, maka hal itu dapat dipandang sebagai bentuk agresi yang bertentangan dengan hukum internasional.

Resolusi PBB 1514, 2625, 2621, dan 3314 justru dapat ditafsirkan sebagai landasan bahwa Aceh masih memiliki hak menentukan nasib sendiri, karena:
1) Kedaulatan tidak dapat dialihkan oleh Belanda ke Indonesia (1514).
2) Status hukum tiap koloni bersifat terpisah (2625).
3) Kolonialisme dalam bentuk apapun harus dihapuskan (2621).
4) Penggunaan kekerasan terhadap rakyat yang memperjuangkan kemerdekaan dilarang (3314).
Dengan demikian, klaim bahwa Aceh otomatis kehilangan hak self-determination pada 1945 adalah tidak mutlak dan dapat dibantah secara sah dengan dasar resolusi-resolusi PBB tersebut.

- Berikut ini catatan historis dari kolonial Belanda sendiri tentang status Aceh untuk memperkuat bantahan bahwa Aceh bisa dipandang memiliki separate legal status (status hukum terpisah) dari wilayah Hindia Belanda secara keseluruhan.

Catatan Historis Status Aceh di Masa Kolonial:
1. Perjanjian London 1824 (Treaty of London, 1824)
* Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian pembagian pengaruh di Asia Tenggara.
* Dalam perjanjian ini, Aceh secara eksplisit diakui sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat oleh Inggris. Inggris berjanji tidak akan campur tangan di Aceh, dan Belanda juga tidak secara langsung mendapatkan hak kedaulatan atas Aceh.
* Artinya, Aceh tidak otomatis termasuk dalam wilayah Hindia Belanda setelah 1824.

2. Perang Aceh (1873–1904)
* Belanda baru melancarkan agresi militer terhadap Aceh pada 1873 dengan alasan “menguasai jalur perdagangan Selat Malaka”.
* Perlawanan rakyat Aceh berlangsung selama puluhan tahun, dengan kerajaan Aceh masih diakui sebagai entitas politik yang sah.
* Bahkan setelah mengklaim “menaklukkan” Aceh pada 1904, Belanda tidak pernah sepenuhnya berhasil menguasai wilayah Aceh secara efektif. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi Aceh ke dalam Hindia Belanda adalah hasil penaklukan militer, bukan proses hukum atau perjanjian damai.

3. Konstitusi Belanda 1854 dan 1925
* Konstitusi 1854 membatasi kekuasaan kerajaan Belanda hanya pada wilayah “koloni dan daerah taklukan yang tunduk pada pemerintahan Belanda”.
* Status Aceh baru dimasukkan secara administratif setelah perang panjang, tetapi tetap dikenal sebagai wilayah dengan rezim pemerintahan militer khusus (militair gezag).
* Konstitusi Belanda 1925 memperluas pengaturan Hindia Belanda, tetapi Aceh tetap dianggap daerah bergolak dengan kekhususan dalam administrasi.
* Dengan demikian, penyatuan Aceh ke dalam Hindia Belanda bukanlah bagian alamiah dari struktur kolonial sejak awal, melainkan hasil ekspansi kekerasan yang kemudian dilembagakan secara administratif.

Dari catatan historis itu dapat disimpulkan:
* Aceh diakui sebagai kerajaan merdeka hingga pertengahan abad ke-19 (Perjanjian London 1824).
* Integrasi Aceh ke Hindia Belanda terjadi lewat penaklukan militer, bukan perjanjian internasional, apalagi dengan demokratis one man one vote.
* Status administratif Aceh di Hindia Belanda bersifat khusus dan penuh kekerasan, sehingga sulit disebut sama dengan wilayah kolonial lain seperti Jawa.
* Maka, jika mengacu pada Resolusi 2625 yang menyatakan setiap koloni memiliki separate legal status, argumen bahwa Aceh bukan bagian otomatis dari Hindia Belanda pada 1945 menjadi lebih kuat.

- Kesimpulan Bantahan

Terakhir, opini Sdr Teuku Zulman Sangga Buana yang menyatakan bahwa Aceh telah kehilangan hak menentukan nasib sendiri sejak 17 Agustus 1945 berpegang pada doktrin uti possidetis juris dan prinsip keutuhan wilayah negara (integritas teritorial).
Pandangan ini, meskipun sejalan dengan interpretasi arus utama, perlu dikritisi karena mengabaikan norma-norma hukum internasional yang menegaskan status hukum terpisah setiap koloni serta hak inheren rakyat koloni atas kedaulatan.
Berdasarkan resolusi-resolusi Majelis Umum PBB (1514, 2625, 2621, 3314) dan catatan sejarah kolonial Aceh, dapat diajukan bantahan bahwa hak menentukan nasib sendiri rakyat Aceh tidak otomatis hilang pada 1945, melainkan tetap melekat sampai rakyat Aceh sendiri menentukannya secara sah.

*****
Referensi:
* The Legal Status of Acheh-Sumatra under International Law Sovereignty in a colony or in a non-selfgoverning territory does not lie in the hands of the colonialist power, or in the administering authority, but in the hands of the people of this colony or territory – UN Resolution 1514-XV;
* Sovereignty over a colonial territory is not transferable by the colonialist power to other colonialist power;
* All powers must be returned by the colonialist governments to the native people of each territory – in this case, Holland must return all powers to the people of Acheh-Sumatra, and not to Indonesia – UN Resolution 1514-XV;The duty of all states to end colonialism, and to stop anyone from using force against peoples struggling for their independence – UN Resolution 2625-XXV;
* The right of colonized people to fight against their colonialists, and that colonialists, and that colonialism is considered an international crime – UN Resolution 2621-XXV;
* The use of force is prohibited against those who seek their self-determination – UN Resolution 3314-XXIX;
* Each colonial territory has a separate legal status from other colonial territories and each has the right to independence; this separate legal status cannot be annulled by colonialist decision to unify the administration of these territories like the Dutch did in Indonesia – UN Resolution 2625-XXV;
* And finally, all peoples have the right to self-determination and independence under the Charter of the United Nations -Article 1, Paragraphs 2 and 55; under the Universal Declaration of the Rights of the Peoples, Articles 5, 6, and 11; under the Universal Declaration of Human Rights, under International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.
* According to all these rules and procedures which are being relentlessly executed in all ex-colonial territories except in the Dutch East Indies.